ruangotun

Since I can't sing, here I write

LightBlog

Breaking

Kamis, 15 Februari 2018

#NYAMBUNG : Bagian Pertama


Yang Kelak Dibangkitkan Sendiri, Dilekaskan padanya sebuah Puisi
        
Senja membawa pulang torehan yang tersisa dari matahari terik. Angin gurun lembut menyisir menghapus jejak. Kerumunan awan menyapu bersih urat-urat oranye langit. Burung berkicau nyaring satu-satu, menyebar ke semua arah. Seekor diantaranya adalah ghurab, yang di sarangnya kini ditinggali burung tanpa bulu dengan kulit putih : bughats. 


Barangkali seperti rutinitasnya sejak beberapa hari yang lalu, setelah berburu makanan hingga daratan jauh Ia akan mendekati sarang. Lalu seperti biasa mengintip bughats itu hingga Ia terkantuk. Dininabobokan oleh pertanyaan-pertanyaan, yang atas izin Dzat yang menganugerahkannya rizki hingga daratan jauh Ia hanya diminta bersabar.


Angin menyapu gurun begitu lembut dengan sesekali menimbulkan bunyi seumpama dengkuran bayi di pangkuan ibu. Maka ketika deretan jejak sepasang kaki yang lebih mirip sumuran akibat tubuh yang tinggi besar tercetak, angin mengusapnya lebur. Barangkali pasir yang lesap dari sudut gurun jauh menyelinap diantara kain jubahnya juga menempel pada darah yang diresap jubah. Maka untuk menghindari angin yang ditunggangi pasir, sorban yang tak lagi mengikat kepala dijadikannya penutup wajah. Kini yang Ia miliki adalah sepasang mata yang terus menatap gundukan batu tak jauh dari tempatnya terseok-seok. Atau barangkali hanya sebelah saja, karena sebelah yang lain membiru dengan kelopak memar, menyembunyikan nanah yang menyebabkan rasa ngilu dan perih luar biasa. Di dalam kepalanya yang semakin pening, yang Ia tahu adalah Ia harus terus ke utara.


Udara bergemerisik menuju beku. Seperti tak dijumpainya tanaman apapun tak Ia jumpai seorangpun; hanya tanah gersang, batu-batu besar, jajaran gunung, batu bukit dan jurang. Matanya menangkap dua buah batu di puncak saat bayangan salah satunya melingkupinya seluruh. Jarak yang kian dekat tidak berarti kian mudah. Kemarin lusa, saat adegan yang sama terjadi Ia bahkan masih bisa berlari hingga ke celah di puncak. Namun berbekal bekas luka kemarin lusa yang belum kering, pun memar yang tak berbilang walaupun dengan segenap tenaga nyatanya Ia tak mampu lekas. Luka-luka ini menyebabkan kesakitan yang melemahkan.


Tenaganya habis untuk membalas pukulan dan tendangan, berlari dan mendaki. Kepalanya semakin nyeri, ada bagian di dekat telinganya yang ngilu karena sebagian rambutnya tercabut. Dirabanya bagian dada yang tersembunyi dibalik jubah. Ada rasa sesak luar biasa. Bahkan di balik kepayahannya, Ia masih mengingat dengan jelas saat salah seorang diantara mereka yang hanya mengenakan kain dari perut hingga lutut menumpukan satu lutut diatas tulang rusuk sembari terus memukuli wajahnya. Seseorang dengan tulang hidung bengkok, seorang sahaya paling kuat yang dimiliki pamannya.
Setidaknya butuh waktu dua jam agar Ia sampai di puncak. Telah lewat dua jam ketika Ia masih mendaki dengan hampir jatuh beberapa kali. Angin gurun meniup telinganya menyebabkan rasa dingin yang menusuk. Kepalanya mendongak menatap puncak : Sedikit lagi. Ia terbatuk.
            

Laki-laki yang terlihat kepayahan itu, adalah salah satu jawara dari suku Adi. Selain kulit putih bersih, juga rambut yang hitam ikal, badan yang tinggi besar adalah yang paling menonjol. Bagaimana tidak, dari atas kudanya Ia mampu menyentuhkan kakinya ke tanah. Adalah tiga orang pemuda Quraisy beserta dua budak suruhan Al-Khattab yang memukulinya dari siang tadi. 


Awalnya serangan 5 orang tersebut mampu dihalaunya, namun ketika beberapa orang yang turut menyaksikan adegan itu juga turut campur, maka tumbanglah Ia. Setelah tendangan demi tendangan diterimanya, pun pukulan demi pukulan tak mampu ditangkisnya, maka yang terjadi selanjutnya justru sebaliknya : Ia mampu lari dari pergumulan itu. Tanah-tanah yang berterbangan mampu menyamarkan Ia dan jubahnya yang sudah sewarna tanah ketika menyelinap keluar.
Memegangi perut yang sedari pagi belum terisi apapun Ia teringat akan istrinya, Safiyah. Pagi ketika Safiyah sibuk menghidangkan sarapan dibantu seorang sahaya Ia terus menggerutu mengenai anak-anak perempuan yang semakin banyak jumlahnya di rumah mereka, mengenai Al-Khattab yang mendesak agar menghentikan sikap dirinya yang terus menerus mengganggu kaumnya, pun mengenai omongan orang-orang yang terus bergunjing betapa tidak warasnya Ia meneriaki orang-orang yang thawaf di Ka’bah. Maka pada pagi yang sama, Ia memilih lekas beranjak dari tempatnya duduk. Atiqah, putrinya dari Safiyah menatap tidak mengerti ketika Ia beranjak dari meja makan. Diusapnya kepala Atiqah, lalu Ia lekas.


Kota ini berubah banyak. Bukan tentang tanahnya yang masih saja gersang, pun bukan tentang tanaman-tanaman yang lebih sering mati, atau tentang ternak yang kurus kekurangan rumput. Mekah hari ini adalah sebuah kota dengan 360 Tuhan pagan yang tidak hanya mengelilingi Ka’bah -sebuah bangunan yang dikultuskan- namun juga tersebar di setiap sudut kota. Maka demi selalu mengingat itu kepalanya selalu penuh dengan riuh, akalnya tak mampu menjangkau pemikiran kaumnya mengenai kayu juga batu. Pikirannya selalu berkutat mengenai perbedaan batu yang diusap mereka setiap pagi juga petang dengan batu besar tepian sungai. Pun, Ia tak mampu menemukan bagian di otaknya yang dapat menemukan perbedaan antara kayu, yang di kakinya dipenuhi berbagai sajian makanan dengan kayu besar yang baru saja tumbang. Apalagi mengenai si Fulan dan Fulan, orang-orang yang dikenalnya sebagai pencipta Tuhan. Bagaimana mereka, dengan palu dan alat ukir mampu mendatangkan Tuhan pada kayu juga batu.
(bersambung, *semoga dapat menyambungkan...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar