Yang
Kelak Dibangkitkan Sendiri, Dilekaskan
padanya sebuah Puisi
Senja membawa pulang
torehan yang tersisa dari matahari terik. Angin gurun lembut menyisir menghapus
jejak. Kerumunan awan menyapu bersih urat-urat oranye langit. Burung berkicau
nyaring satu-satu, menyebar ke semua arah. Seekor diantaranya adalah ghurab, yang di sarangnya kini
ditinggali burung tanpa bulu dengan kulit putih : bughats.
Barangkali seperti rutinitasnya sejak beberapa hari yang
lalu, setelah berburu makanan hingga daratan jauh Ia akan mendekati sarang.
Lalu seperti biasa mengintip bughats
itu hingga Ia terkantuk. Dininabobokan oleh pertanyaan-pertanyaan, yang atas
izin Dzat yang menganugerahkannya rizki hingga daratan jauh Ia hanya diminta bersabar.
Angin menyapu gurun
begitu lembut dengan sesekali menimbulkan bunyi seumpama dengkuran bayi di
pangkuan ibu. Maka ketika deretan jejak sepasang kaki yang lebih mirip sumuran
akibat tubuh yang tinggi besar tercetak, angin mengusapnya lebur. Barangkali pasir
yang lesap dari sudut gurun jauh menyelinap diantara kain jubahnya juga
menempel pada darah yang diresap jubah. Maka untuk menghindari angin yang
ditunggangi pasir, sorban yang tak lagi mengikat kepala dijadikannya penutup
wajah. Kini yang Ia miliki adalah sepasang mata yang terus menatap gundukan
batu tak jauh dari tempatnya terseok-seok. Atau barangkali hanya sebelah saja,
karena sebelah yang lain membiru dengan kelopak memar, menyembunyikan nanah
yang menyebabkan rasa ngilu dan perih luar biasa. Di dalam kepalanya yang
semakin pening, yang Ia tahu adalah Ia harus terus ke utara.
Udara bergemerisik
menuju beku. Seperti tak dijumpainya tanaman apapun tak Ia jumpai seorangpun; hanya
tanah gersang, batu-batu besar, jajaran gunung, batu bukit dan jurang. Matanya menangkap
dua buah batu di puncak saat bayangan salah satunya melingkupinya seluruh. Jarak
yang kian dekat tidak berarti kian mudah. Kemarin lusa, saat adegan yang sama
terjadi Ia bahkan masih bisa berlari hingga ke celah di puncak. Namun berbekal bekas
luka kemarin lusa yang belum kering, pun memar yang tak berbilang walaupun
dengan segenap tenaga nyatanya Ia tak mampu lekas. Luka-luka ini menyebabkan
kesakitan yang melemahkan.
Tenaganya habis untuk membalas
pukulan dan tendangan, berlari dan mendaki. Kepalanya semakin nyeri, ada bagian
di dekat telinganya yang ngilu karena sebagian rambutnya tercabut. Dirabanya
bagian dada yang tersembunyi dibalik jubah. Ada rasa sesak luar biasa. Bahkan
di balik kepayahannya, Ia masih mengingat dengan jelas saat salah seorang
diantara mereka yang hanya mengenakan kain dari perut hingga lutut menumpukan
satu lutut diatas tulang rusuk sembari terus memukuli wajahnya. Seseorang
dengan tulang hidung bengkok, seorang sahaya
paling kuat yang dimiliki pamannya.
Setidaknya butuh waktu
dua jam agar Ia sampai di puncak. Telah lewat dua jam ketika Ia masih mendaki
dengan hampir jatuh beberapa kali. Angin gurun meniup telinganya menyebabkan
rasa dingin yang menusuk. Kepalanya mendongak menatap puncak : Sedikit lagi. Ia terbatuk.
Laki-laki yang terlihat kepayahan itu, adalah salah satu jawara dari suku Adi. Selain
kulit putih bersih, juga rambut yang hitam ikal, badan yang tinggi besar adalah
yang paling menonjol. Bagaimana tidak, dari atas kudanya Ia mampu menyentuhkan
kakinya ke tanah. Adalah tiga orang pemuda Quraisy beserta dua budak suruhan
Al-Khattab yang memukulinya dari siang tadi.
Awalnya serangan 5 orang tersebut
mampu dihalaunya, namun ketika beberapa orang yang turut menyaksikan adegan itu
juga turut campur, maka tumbanglah Ia. Setelah tendangan demi tendangan
diterimanya, pun pukulan demi pukulan tak mampu ditangkisnya, maka yang terjadi
selanjutnya justru sebaliknya : Ia mampu lari dari pergumulan itu. Tanah-tanah
yang berterbangan mampu menyamarkan Ia dan jubahnya yang sudah sewarna tanah
ketika menyelinap keluar.
Memegangi perut yang
sedari pagi belum terisi apapun Ia teringat akan istrinya, Safiyah. Pagi ketika
Safiyah sibuk menghidangkan sarapan dibantu seorang sahaya Ia terus menggerutu mengenai
anak-anak perempuan yang semakin banyak jumlahnya di rumah mereka, mengenai
Al-Khattab yang mendesak agar menghentikan sikap dirinya yang terus menerus
mengganggu kaumnya, pun mengenai omongan orang-orang yang terus bergunjing
betapa tidak warasnya Ia meneriaki orang-orang yang thawaf di Ka’bah. Maka pada
pagi yang sama, Ia memilih lekas beranjak dari tempatnya duduk. Atiqah,
putrinya dari Safiyah menatap tidak mengerti ketika Ia beranjak dari meja
makan. Diusapnya kepala Atiqah, lalu Ia lekas.
Kota ini berubah
banyak. Bukan tentang tanahnya yang masih saja gersang, pun bukan tentang tanaman-tanaman
yang lebih sering mati, atau tentang ternak yang kurus kekurangan rumput. Mekah
hari ini adalah sebuah kota dengan 360 Tuhan pagan yang tidak hanya
mengelilingi Ka’bah -sebuah bangunan yang dikultuskan- namun juga tersebar di
setiap sudut kota. Maka demi selalu mengingat itu kepalanya selalu penuh dengan
riuh, akalnya tak mampu menjangkau pemikiran kaumnya mengenai kayu juga batu.
Pikirannya selalu berkutat mengenai perbedaan batu yang diusap mereka setiap
pagi juga petang dengan batu besar tepian sungai. Pun, Ia tak mampu menemukan
bagian di otaknya yang dapat menemukan perbedaan antara kayu, yang di kakinya
dipenuhi berbagai sajian makanan dengan kayu besar yang baru saja tumbang. Apalagi
mengenai si Fulan dan Fulan, orang-orang yang dikenalnya sebagai pencipta
Tuhan. Bagaimana mereka, dengan palu dan alat ukir mampu mendatangkan Tuhan
pada kayu juga batu.
(bersambung, *semoga dapat menyambungkan...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar