MEMBENTUK
SUDUT
Untuk Kau di Padang yang kemarin datang:
Karena bayang punggungmu menyapulenyapkan dera rindu
Maafkan untuk hati dan kepalaku yang terbuat dari materi yang sama:
Batu.
Aku kelelahan dan tengah bersantai ramai-ramai menunggu ketua
panitia. Ia masih saja menemani salah seorang pembicara seminar tadi pagi. Aku
kelelahan, hari ini banyak panitia yang tidak datang. Aku duduk, memangku jaket
kepanitiaan dan terbahak karena lawakan salah seorang teman.
Lalu sesuatu di
kepalaku memaksaku tidur, namun sebuah pesan singkat memaksa kelopak mataku
menegang sedari malam : Sudut itu jadi empat.
“Kau
sakit,ka?” Gano mengambil tempat duduk disampingku.
“Tidak.
Sudah selesai?” Tanyaku mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.
“Sudah,
Prof sudah kuantar sampai hotel”
“Kita
mulai evaluasinya?” Jaket yang sedari tadi kupangku, kumasukan ke dalam tas
seenaknya.
“Kau
sakit. Pulanglah, istirahat..” Katanya bangun dan berdiri di depanku,
menghalangiku yang hendak berdiri.
“Tidak,
Aku baik..”
“Wajahmu
pucat, kau membawa obat?” Aku menggeleng.
“Jangan
begitu, Kau membawa obatmu atau tidak?” Tanyanya tegas. Aku mengalah,
kuanggukan kepala.
“Ayo
kita mulai evaluasinya, Aku ingin cepat
pulang. Bukankah Kau bilang Aku harus istirahat?”
“Jangan
pikirkan evaluasi, pulanglah.. atau perlu kuantar?” Katanya menahanku.
“Lepaskan”
Pintaku padanya.
“Kuantar
Kau pulang” Ia menggapit lenganku. Rahangnya mengeras, tangannya yang
menggamitku kaku. Aku mau lepas, tapi tanganku kebas.
Kau datang dengan setengah berlari, sandalmu berisik sekali. Aku
tidak sadar Kau datang. Padahal diantara kita hanya dibatasi kaca gelap gedung
rektorat. Kemeja jeans biru muda, celana kain hitam pekat, tas ransel dengan
logo perusahaan, kacamata minus rendah, jam tangan hitam, dan sepasang sandal. Nafasmu
satu-satu. Mataku mengikuti arahmu yang mendekat. Semua orang melihat padamu.
Sandalmu tidak berisik lagi, Kau berhenti. Aku melihatmu, lalu melepas lenganku
dari Gano. Ia tak mau melepaskannya, tapi lalu Ia melepaskannya setelah
melihat ke arahmu. Ia tahu, Ia paham. Baumu asap knalpot, tidak tersisa
sedikitpun aroma parfum di antara lipatan bajumu. Aku mendekat padamu, Kau
mundur beberapa kali.
“Sekali
ini saja dan Aku berhenti.” Katamu berusaha mengatur nafas. Aku diam,
merinding. Penglihatanku buram lagi.
“Ya sudah...”
Ucapku lirih.
“Ya sudah??”
Kau mengulanginya dengan nada tinggi. Kau mengamatiku lama. Aku mengangguk
ragu. Kau memasang wajah tak sama. Aku tahu maksudnya.
“Aku
jauh-jauh dari Padang, transit ke Jogja lalu kesini dan yang Kau katakan hanya
itu?”
“Ya,terus?”
Kau tertawa, mendongak, mengusap keningmu yang licin berminyak.
“Aku
bukan orang yang bisa libur seenak hati. Aku harus rela bolos karena datang
kesini. Padahal Besok Aku sudah harus terbang lagi. Katakan sesuatu yang lain”
Kau melepas kacamata dan memasukannya ke kantong kemeja. Pundakmu melayu,tas
ranselmu jatuh ke lantai keramik. Sekarang tas itu tegeletak di lantai dengan
satu tali kau pegang. Lama.
“Sikapmu
membuatku semakin ragu. Kenapa Kau bersikeras begitu? Katakan saja Ya dan Kita selesaikan
ini.” Aku menggeleng. Ia menatap tajam ke
arah belakangku. Gano. Kau menyakitiku.
Kau
mendekat, Aku mundur, Kau memandangi kami
satu-satu.
“Sudut
mana yang tak Kau mengerti??” Satu dua urat dilehermu menegang. Aku ketakutan.
“Aku
pulang!” Katamu berbalik badan.
“Ya”
Jawabku tercekat.
Kau keluar dengan sandalmu yang berisik. Diantara kaca-kaca lebar
Aku melihatmu berbelok ke kiri, ke arah jalan dimana angkot berwarna orange
ramai memaksa orang pinggir jalan untuk naik.
“Lepaskan”
Kali ini Ia mendengarkan. Mataku perih, ada setumpuk air di pelupukku. Tapi kutahan
karena masih banyak orang. Aku keluar,
mendorong pintu kaca, menuruni tangga dan memandangi punggungmu. Ada yang
tersisa dari kedatanganmu. Aku. Pesan pendekmu semalam menari-nari di sudut
mataku.
Dulu
kami berdua saja, menghitung sudut. Hanya perlu waktu sepersekian detik dan
selesai. Meski begitu, kami selalu saja mengulur. Menghitung bintang gemintang
lalu mengukur sudut yang terhitung antar bintang. Lama. Kami melama-lamakannya.
Lalu kami jadi bertiga; Sulit sekali menghitung sudut diantara kami.
Trigonometri yang kami kuasai tak serumit itu. Harus dimulai dari sudut siapa,
aku ,kau atau dia dan terhadap siapa; aku ,kau atau dia. Begitu selalu kau membuka
pertanyaan. Aku tidak tahu, mungkin kau sudah jengah dengan jawabanku. Pada
akhirnya kita hanya bertiga duduk-duduk tak berani menghitung sudut bintang
kembali, pada akhirnya kita bertiga membentuk sebuah garis lurus tanpa sebuah
sudut. Pada akhirnya selalu begitu, tapi kenapa selalu kau bertanya, dan
melama-lamakan duduk bergilir, siapa yang di tengah dan pinggir. Kita bertiga,
dan kita tak lagi membentuk sudut.
Untukmu...
Saat Kau baru datang Aku senang. Berapa lama kita tidak saling menyapa?
Aku bersikeras menghindarimu berminggu-minggu. Kau hanya perlu tahu Aku tak
setulus yang Kau mau. Tapi Kalau Aku boleh mengaku, Aku rindu.
Saat kau baru datang, Kau tersenyum sebentar. Aku mengamatimu lama
mengingat beginikah senyummu yang biasa. Kau dengan kemeja, kaca mata, ransel
dan jam tangan itu tampak lebih dewasa dari sebelumnya. Jarak kita sekitar 1
ubin, mungkin 1 meter. Dari jarak ini Ku taksir tinggimu lebih sedikit dari ku.
Aku penasaran dengan matamu yang tertutup kacamata itu, masih samakah?
Saat Kau baru datang, kalau bukan sandalmu yang berisik, Aku
mungkin tidak akan berdiri. Kau seharusnya berterimakasih pada sandal itu. Saat
Kau baru datang, dan kau bilang ‘Sekali ini saja dan Aku berhenti’ ada
sesuatu di dadaku yang ngilu. Aku diam, Aku ingin mendengarmu bicara lagi,
karena Aku sulit mengeja suaramu. Tapi Kau tidak bicara lagi. Aku bingung harus
bicara apa. Egoku tak mengizinkanku mencari kata. Diantara sekian banyak kata yang
tersisa, Aku hanya mengatakan ‘Yasudah’. Maaf.
Saat Kau baru datang dan Aku menjawab begitu Kau mengulanginya
lagi. Kau kesal, Aku tau. Tapi Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku takut Aku
salah bicara lagi. Lalu kau berbicara tentang waktu yang Kau korbankan untuk
perjalanan Padang-Jogja-Purwokerto. Demi apapun Aku hanya bisa mengatakan ‘Ya,terus?’.
Kau keberatan karena Aku bilang dua kali kata yang tidak ingin Kau dengar. Kau
membandingkan Aku dengan dia. Ngilu yang sama aku rasakan.
Saat Kau baru datang, setelah Kau terlihat mulai tidak senang, Kau
melepas kaca matamu. Saat itu Aku tahu, matamu tidak sama. Lalu Kau
menggeletakan tas ransel mu, dan Aku sadar ada sesuatu yang memberatkan
pundakmu selain tas itu. Lalu kau bilang akan pulang. Saat kau baru datang, kau
langsung pulang.
Kalau
Kau mau mendengarkan...
Saat Kau baru datang Aku melihat wajahmu kusam. Aku yakin Kau belum
sholat dhuhur. Rasanya ingin sekali bertanya ‘Sudah sholat dhuhur belum,Ghaf?’.
Setidaknya bisa kutunjukan letak mushola. Ah, andai saja tadi Aku belum
sholat duhur. Aku rindu menjadi makmum mu, sungguh. Hal yang dulu kita bertiga
lakukan saat istirahat kedua. Tapi Aku tak bertanya apapun.
Saat Kau datang, Aku lihat kacamatamu buram. Aku yakin Kau tidak
membawa tempat dan kain lap. Kau kan memang seperti itu, tidak pernah
memperhatikan kebersihan. Rasanya ingin sekali kuminta kacamatamu lalu mengusap
lensanya dengan tisu di tasku. Tapi Aku tidak memintanya.
Saat Kau baru datang, rambutmu berantakan. Kau pasti tidur di
angkot dengan membenamkan kepalamu dalam tanganmu yang terlipat. Kebiasaanmu
saat pelajaran. Ingin sekali Aku rapikan sedikit rambutmu, tapi kemudian Aku
rasa begitu lebih baik. Kau terlihat 5 tahun lebih dewasa dari sebelumnya.
Lagipula nyatanya Aku tak merapikan apapun.
Saat Kau baru datang, Aku lihat ujung sandal dan sebagian kakimu
kotor. Kau pasti menendang sesuatu di jalan atau bahkan memainkan kakimu di
tanah jalanan. Seperti anak kecil! Seharusnya kebiasaan seperti itu sudah
ditinggalkan puluhan tahun lalu. Ingin sekali Aku meminta sandalmu, mencucinya,
lalu menjemurnya di tempat yang teduh. Lalu sambil menunggu kering kurendam
kakimu dalam air hangat, dan menunggumu tertidur. Kau pasti kelelahan. Tapi Aku
tidak mencuci apapun, dan Aku tak merendam kakimu. Terutama, Aku tidak
menunggumu tertidur.
Saat Kau baru datang, Aku melihat tas ranselmu berat. Apakah Kau membawa
banyak pakaian? Bukankah katamu besok sudah harus kembali? Mungkinkah Kau membawa
bekal? Ingin sekali kutanyakan isi tasmu, lalu membukanya dengan
ledekan-ledekan ringan. Seperti yang dulu kita bertiga lakukan saat jam makan
siang. Tapi tak ada bekal yang ditunjukan dan tak ada ledekan-ledekan ringan.
Saat Kau baru datang, saat Kau melepas kacamata dan tas mu, Aku
tahu ada banyak yang ingin dikatakan. Dari matamu, Aku tahu dia tidak seterang
sebelumnya. Kau membawa banyak beban untuk dibagi. Kenapa tidak Aku menanyakan
kabarmu? Kenapa Aku tidak melihat masalah yang kau coba bagi denganku? Kenapa Aku diam saja saat seolah Kau memohon
untuk didengarkan? Rasanya ingin sekali menemanimu seharian mendengarkan apapun
yang ingin kau ceritakan lalu melihat matamu kembali terang, tapi tak ada
masalah yang dibagi. Aku tidak bertanya, Aku diam saja.
Saat Kau baru datang, detik pertama Aku melihatmu dan Aku sadar itu
Kau, ingin rasanya Aku berlari melompat ke arahmu, memelukmu erat, tidak tahu
sampai kapan. Saat itulah Aku akan lupa tentang menanyakan sholat dhuhur mu,
mengusap kacamatamu, merapikan rambutmu, mencuci sandalmu, merendam kakimu, membuka
tasmu atau meminta bebanmu. Saat Aku memelukmu maka Aku ingin tak ada yang
perlu diumbar dalam bahasa kata, karena saat itu, bahkan mata pun tak dapat
berbicara. Karena Ia terpejam, saling mengirim pesan tentang sebuah kerinduan.
Saat itulah permintaan maaf bukan sebuah permohonan tapi pemberian.
Saat Kau baru datang, Aku tertinggal di belakang. Orang yang Kau
tuduh sebagai alasan Aku mengenyampingkamu, Ia memapahku. Harusnya kukatakan
bahwa Ia tak pernah marah padaku, bahkan ketika Aku sangat kasar padanya. Tapi
Kau tak pernah begitu, karena dimatamu yang salah hanya Aku. Hanya karena Aku
tak mau Kau ajak datang ke ibumu, Kau menyebutku kepala batu. Sekujur
badanku gemetaran, lalu kesemutan.
Sepertinya
Aku pingsan.
Purwokerto, 1
Oktober 2014
Malam setelah
seminar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar