ruangotun

Since I can't sing, here I write

LightBlog

Breaking

Kamis, 15 Februari 2018

#CERITAFIKS(I) : MEMBENTUK SUDUT


MEMBENTUK SUDUT


Untuk Kau di Padang yang kemarin datang:
Karena bayang punggungmu menyapulenyapkan dera rindu
Maafkan untuk hati dan kepalaku yang terbuat dari materi yang sama:
Batu.


Aku kelelahan dan tengah bersantai ramai-ramai menunggu ketua panitia. Ia masih saja menemani salah seorang pembicara seminar tadi pagi. Aku kelelahan, hari ini banyak panitia yang tidak datang. Aku duduk, memangku jaket kepanitiaan dan terbahak karena lawakan salah seorang teman. 




Lalu sesuatu di kepalaku memaksaku tidur, namun sebuah pesan singkat memaksa kelopak mataku menegang sedari malam : Sudut itu jadi empat.
“Kau sakit,ka?” Gano mengambil tempat duduk disampingku.
“Tidak. Sudah selesai?” Tanyaku mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.
“Sudah, Prof  sudah kuantar sampai hotel”
“Kita mulai evaluasinya?” Jaket yang sedari tadi kupangku, kumasukan ke dalam tas seenaknya.
“Kau sakit. Pulanglah, istirahat..” Katanya bangun dan berdiri di depanku, menghalangiku yang hendak berdiri.
“Tidak, Aku baik..”
“Wajahmu pucat, kau membawa obat?” Aku menggeleng.
“Jangan begitu, Kau membawa obatmu atau tidak?” Tanyanya tegas. Aku mengalah, kuanggukan kepala.
“Ayo kita mulai evaluasinya,  Aku ingin cepat pulang. Bukankah Kau bilang Aku harus istirahat?”
“Jangan pikirkan evaluasi, pulanglah.. atau perlu kuantar?” Katanya menahanku.
“Lepaskan” Pintaku padanya.
“Kuantar Kau pulang” Ia menggapit lenganku. Rahangnya mengeras, tangannya yang menggamitku kaku. Aku mau lepas, tapi tanganku kebas.


Kau datang dengan setengah berlari, sandalmu berisik sekali. Aku tidak sadar Kau datang. Padahal diantara kita hanya dibatasi kaca gelap gedung rektorat. Kemeja jeans biru muda, celana kain hitam pekat, tas ransel dengan logo perusahaan, kacamata minus rendah, jam tangan hitam, dan sepasang sandal. Nafasmu satu-satu. Mataku mengikuti arahmu yang mendekat. Semua orang melihat padamu. Sandalmu tidak berisik lagi, Kau berhenti. Aku melihatmu, lalu melepas lenganku dari Gano. Ia tak mau melepaskannya, tapi lalu Ia melepaskannya setelah melihat ke arahmu. Ia tahu, Ia paham. Baumu asap knalpot, tidak tersisa sedikitpun aroma parfum di antara lipatan bajumu. Aku mendekat padamu, Kau mundur beberapa kali.


“Sekali ini saja dan Aku berhenti.” Katamu berusaha mengatur nafas. Aku diam, merinding. Penglihatanku buram lagi.
“Ya sudah...” Ucapku lirih.
“Ya sudah??” Kau mengulanginya dengan nada tinggi. Kau mengamatiku lama. Aku mengangguk ragu. Kau memasang wajah tak sama. Aku tahu maksudnya.
“Aku jauh-jauh dari Padang, transit ke Jogja lalu kesini dan yang Kau katakan hanya itu?”



“Ya,terus?” Kau tertawa, mendongak, mengusap keningmu yang licin berminyak.
“Aku bukan orang yang bisa libur seenak hati. Aku harus rela bolos karena datang kesini. Padahal Besok Aku sudah harus terbang lagi. Katakan sesuatu yang lain”
Kau melepas kacamata dan memasukannya ke kantong kemeja. Pundakmu melayu,tas ranselmu jatuh ke lantai keramik. Sekarang tas itu tegeletak di lantai dengan satu tali kau pegang. Lama.
“Sikapmu membuatku semakin ragu. Kenapa Kau bersikeras begitu? Katakan saja Ya dan Kita selesaikan ini.” Aku menggeleng. Ia menatap tajam ke arah belakangku. Gano. Kau menyakitiku.


Kau mendekat, Aku mundur, Kau memandangi kami satu-satu.
“Sudut mana yang tak Kau mengerti??” Satu dua urat dilehermu menegang. Aku ketakutan.
“Aku pulang!” Katamu berbalik  badan.
“Ya” Jawabku tercekat.


Kau keluar dengan sandalmu yang berisik. Diantara kaca-kaca lebar Aku melihatmu berbelok ke kiri, ke arah jalan dimana angkot berwarna orange ramai memaksa orang pinggir jalan untuk naik.
“Lepaskan” Kali ini Ia mendengarkan. Mataku perih, ada setumpuk air di pelupukku. Tapi kutahan karena masih banyak orang.  Aku keluar, mendorong pintu kaca, menuruni tangga dan memandangi punggungmu. Ada yang tersisa dari kedatanganmu. Aku. Pesan pendekmu semalam menari-nari di sudut mataku.



Dulu kami berdua saja, menghitung sudut. Hanya perlu waktu sepersekian detik dan selesai. Meski begitu, kami selalu saja mengulur. Menghitung bintang gemintang lalu mengukur sudut yang terhitung antar bintang. Lama. Kami melama-lamakannya. Lalu kami jadi bertiga; Sulit sekali menghitung sudut diantara kami. Trigonometri yang kami kuasai tak serumit itu. Harus dimulai dari sudut siapa, aku ,kau atau dia dan terhadap siapa;  aku ,kau atau dia. Begitu selalu kau membuka pertanyaan. Aku tidak tahu, mungkin kau sudah jengah dengan jawabanku. Pada akhirnya kita hanya bertiga duduk-duduk tak berani menghitung sudut bintang kembali, pada akhirnya kita bertiga membentuk sebuah garis lurus tanpa sebuah sudut. Pada akhirnya selalu begitu, tapi kenapa selalu kau bertanya, dan melama-lamakan duduk bergilir, siapa yang di tengah dan pinggir. Kita bertiga, dan kita  tak lagi membentuk sudut.


Untukmu...
Saat Kau baru datang Aku senang. Berapa lama kita tidak saling menyapa? Aku bersikeras menghindarimu berminggu-minggu. Kau hanya perlu tahu Aku tak setulus yang Kau mau. Tapi Kalau Aku boleh mengaku, Aku rindu.

Saat kau baru datang, Kau tersenyum sebentar. Aku mengamatimu lama mengingat beginikah senyummu yang biasa. Kau dengan kemeja, kaca mata, ransel dan jam tangan itu tampak lebih dewasa dari sebelumnya. Jarak kita sekitar 1 ubin, mungkin 1 meter. Dari jarak ini Ku taksir tinggimu lebih sedikit dari ku. Aku penasaran dengan matamu yang tertutup kacamata itu, masih samakah?

Saat Kau baru datang, kalau bukan sandalmu yang berisik, Aku mungkin tidak akan berdiri. Kau seharusnya berterimakasih pada sandal itu. Saat Kau baru datang, dan kau bilang ‘Sekali ini saja dan Aku berhenti’ ada sesuatu di dadaku yang ngilu. Aku diam, Aku ingin mendengarmu bicara lagi, karena Aku sulit mengeja suaramu. Tapi Kau tidak bicara lagi. Aku bingung harus bicara apa. Egoku tak mengizinkanku mencari kata. Diantara sekian banyak kata yang tersisa, Aku hanya mengatakan ‘Yasudah’. Maaf.
Saat Kau baru datang dan Aku menjawab begitu Kau mengulanginya lagi. Kau kesal, Aku tau. Tapi Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku takut Aku salah bicara lagi. Lalu kau berbicara tentang waktu yang Kau korbankan untuk perjalanan Padang-Jogja-Purwokerto. Demi apapun Aku hanya bisa mengatakan ‘Ya,terus?’. Kau keberatan karena Aku bilang dua kali kata yang tidak ingin Kau dengar. Kau membandingkan Aku dengan dia. Ngilu yang sama aku rasakan.
Saat Kau baru datang, setelah Kau terlihat mulai tidak senang, Kau melepas kaca matamu. Saat itu Aku tahu, matamu tidak sama. Lalu Kau menggeletakan tas ransel mu, dan Aku sadar ada sesuatu yang memberatkan pundakmu selain tas itu. Lalu kau bilang akan pulang. Saat kau baru datang, kau langsung pulang.


Kalau Kau mau mendengarkan...
Saat Kau baru datang Aku melihat wajahmu kusam. Aku yakin Kau belum sholat dhuhur. Rasanya ingin sekali bertanya ‘Sudah sholat dhuhur belum,Ghaf?’. Setidaknya bisa kutunjukan letak mushola. Ah, andai saja tadi Aku belum sholat duhur. Aku rindu menjadi makmum mu, sungguh. Hal yang dulu kita bertiga lakukan saat istirahat kedua. Tapi Aku tak bertanya apapun.
Saat Kau datang, Aku lihat kacamatamu buram. Aku yakin Kau tidak membawa tempat dan kain lap. Kau kan memang seperti itu, tidak pernah memperhatikan kebersihan. Rasanya ingin sekali kuminta kacamatamu lalu mengusap lensanya dengan tisu di tasku. Tapi Aku tidak memintanya.

Saat Kau baru datang, rambutmu berantakan. Kau pasti tidur di angkot dengan membenamkan kepalamu dalam tanganmu yang terlipat. Kebiasaanmu saat pelajaran. Ingin sekali Aku rapikan sedikit rambutmu, tapi kemudian Aku rasa begitu lebih baik. Kau terlihat 5 tahun lebih dewasa dari sebelumnya. Lagipula nyatanya Aku tak merapikan apapun.
Saat Kau baru datang, Aku lihat ujung sandal dan sebagian kakimu kotor. Kau pasti menendang sesuatu di jalan atau bahkan memainkan kakimu di tanah jalanan. Seperti anak kecil! Seharusnya kebiasaan seperti itu sudah ditinggalkan puluhan tahun lalu. Ingin sekali Aku meminta sandalmu, mencucinya, lalu menjemurnya di tempat yang teduh. Lalu sambil menunggu kering kurendam kakimu dalam air hangat, dan menunggumu tertidur. Kau pasti kelelahan. Tapi Aku tidak mencuci apapun, dan Aku tak merendam kakimu. Terutama, Aku tidak menunggumu tertidur.


Saat Kau baru datang, Aku melihat tas ranselmu berat. Apakah Kau membawa banyak pakaian? Bukankah katamu besok sudah harus kembali? Mungkinkah Kau membawa bekal? Ingin sekali kutanyakan isi tasmu, lalu membukanya dengan ledekan-ledekan ringan. Seperti yang dulu kita bertiga lakukan saat jam makan siang. Tapi tak ada bekal yang ditunjukan dan tak ada ledekan-ledekan ringan.
Saat Kau baru datang, saat Kau melepas kacamata dan tas mu, Aku tahu ada banyak yang ingin dikatakan. Dari matamu, Aku tahu dia tidak seterang sebelumnya. Kau membawa banyak beban untuk dibagi. Kenapa tidak Aku menanyakan kabarmu? Kenapa Aku tidak melihat masalah yang kau coba bagi denganku?  Kenapa Aku diam saja saat seolah Kau memohon untuk didengarkan? Rasanya ingin sekali menemanimu seharian mendengarkan apapun yang ingin kau ceritakan lalu melihat matamu kembali terang, tapi tak ada masalah yang dibagi. Aku tidak bertanya, Aku diam saja.

Saat Kau baru datang, detik pertama Aku melihatmu dan Aku sadar itu Kau, ingin rasanya Aku berlari melompat ke arahmu, memelukmu erat, tidak tahu sampai kapan. Saat itulah Aku akan lupa tentang menanyakan sholat dhuhur mu, mengusap kacamatamu, merapikan rambutmu, mencuci sandalmu, merendam kakimu, membuka tasmu atau meminta bebanmu. Saat Aku memelukmu maka Aku ingin tak ada yang perlu diumbar dalam bahasa kata, karena saat itu, bahkan mata pun tak dapat berbicara. Karena Ia terpejam, saling mengirim pesan tentang sebuah kerinduan. Saat itulah permintaan maaf bukan sebuah permohonan tapi pemberian.


Saat Kau baru datang, Aku tertinggal di belakang. Orang yang Kau tuduh sebagai alasan Aku mengenyampingkamu, Ia memapahku. Harusnya kukatakan bahwa Ia tak pernah marah padaku, bahkan ketika Aku sangat kasar padanya. Tapi Kau tak pernah begitu, karena dimatamu yang salah hanya Aku. Hanya karena Aku tak mau Kau ajak datang ke ibumu, Kau menyebutku kepala batu. Sekujur badanku gemetaran, lalu kesemutan.
Sepertinya Aku pingsan.
Purwokerto, 1 Oktober 2014
Malam setelah seminar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar