ruangotun

Since I can't sing, here I write

LightBlog

Breaking

Jumat, 16 Februari 2018

#POES : FAISAL ODDANG (BAGIAN SATU)


(1)Surat dari Sauh Jatuh


Kepadamu yang telah kucukupkan doa-doa, jauh sebelum sauh kulabuh,
tidurlah sebab aku juru dongeng,
terjagalah bila aku denting lonceng gereja,
atau riuh azan pagi di tingkap atapmu. Akulah biduk itu,
Sayang, dengan pongah kuredah laut, kutegah segala nujum musim
selamat aku ke dermaga kau juga.



Sedang angin ribut sibuk melukai tubuhnya sendiri.
Surat yang baik hati ini (sebab tak ia lukai kata-kata di dalamnya),
telah kukirimkan di musim bulan penuh,
di tubuh laut, maut serupa anak kecil di gendongan ibumu;
betapa ia dekat dengan tangisannya sendiri.


Kutulis suratku sambil mengingat ciuman yang kau janjikan itu;
berlayarlah cintaku, dermaga yang beraroma garam ini adalah sepasang bibirku,
kait talimu adalah pagutan kita.
Bacalah suratku dengan sedikit hati-hati
dengan sepenuh hati; apa yang tidak dapat diterjemahkan kata,
adalah yang mudah diterima makna.



Aku ingin kehilangan kau sekali lagi,
seperti perpisahan yang membuatku menulis surat ini.
Dan selamanya, lukaku adalah upaya menyembuhkan kesedihanmu.

(2) Perihal Perempuan-Perempuan Penyeduh Kopi




telah kucukupkankukecupkan segala ingatan yang menebar aroma kopi ke dalam kepalaku
pahitmembikin lelap enggan tandang ke segenap mimpi yang kusiapkan dari doa sebelum malam, dan aku membiarkan buih mengepul di ujung kantukmu, di sana, di gelas kopi yang mungkin telah menyesak di dapurmu. atau telah kaubersihkan dengan air mata sebelum lelaki itu memintamu menyeduh kopi untuknya.


aku masih menggenggam gelasku, yang bibirnya telah tipisbergantian kita kecupi. aku tidak tahubagaimana sebuah kehilangan menyembunyikan diri di sebuah gelas kosong. barangkali yang lesap di sebalik seruputan adalah kemesraan, hanya menyisakan remah hitam. dan kita mengelam, disembunyikan setiap kecupan pada gelas kopi yang pecah.


kau tinggalkan gelas yang membeling itu di dapurku. kau tidak membersihkannyamembiarkan pahit merasuk hidung dan lidah, begitupula dadaku. kuseduh airmata yang tawar ke dalam gelas-gelas pecah, tanpa aroma kopi. dan kehilangan masih saja bersembunyi di sebalik gelas kosong yang pecah. seperti kepergian yang menyembunyikanmu.


bagiku kopi adalah sebaik-baiknya cinta yang mampu mengekalkan ingatan kepada segala, bahkan kepedihan. aku madih tidak paham apakah tuhan mengambil lidahku, ataukah tak ada lagi pahit dalam kopiku. sebab aku pun adalah hujan yang masih membasah kepadamu yang kemarau, dan menitipkan waktu di doa-doa yang gersang.


mungkin kopi di gelas lelakimu telah basi, bisa juga kian pahit. aku takkan memintamu menyeduh kopi untukku. dalam ingatanku engkau jelma hampa, setelah mata selalu terjagadi dapurku gelas pecah telah binasa. aroma kopi meruap dari tangan perempuan yang menadah. ia mengenalkan diri sebagai penyeduh kopi yang tidak butuh gelas untuk menampung kesedihan. seduhlah kopi untuk lelakimu, sementara aku terjaga, mengaduk kopi di tangan perempuanku. dengan aroma kopi seperti aroma kecupanmu.


(3) Obituari Ingatan



Punggung menjauhkan kita
seperti cuaca gagal dibaca musim
mengajarkan aku cara kehilangan yang
menyakiti dengan perasaan-perasaan memiliki
entah bagaimana kuakui kau sedangkan
mungkin bagimu aku hanyalah gagang pintu
yang tidak ingin kaupegang setelah tualang.



Kenangan hanya ingatan yang jatuh cinta pada masa lalu
kini kau menjelma apapun yang tidak lagi cukup
ke dalam lengang lenganku semuanya telah dijauhkan waktu dari punggung kita.
aku mencari pada jalan yang menyimpan bekas sepatumu,


angin menyisakan wangi tubuhmu, dan foto-foto yang pernah membekukan kita, tetap tidak kudapatkan apa-apa
hingga pada akhirnya, pada sepi sendiri
kutemukan kau di kedalaman diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar