(1)Surat dari
Sauh Jatuh
Kepadamu yang telah kucukupkan doa-doa, jauh sebelum sauh
kulabuh,
tidurlah sebab aku juru dongeng,
terjagalah bila aku denting lonceng gereja,
atau riuh azan pagi di tingkap atapmu. Akulah biduk itu,
Sayang, dengan pongah kuredah laut, kutegah segala nujum musim
selamat aku ke dermaga kau juga.
Sedang angin ribut sibuk melukai tubuhnya sendiri.
Surat yang baik hati ini (sebab
tak ia lukai kata-kata di dalamnya),
telah kukirimkan di musim bulan penuh,
di tubuh laut, maut serupa anak kecil di gendongan ibumu;
betapa ia dekat dengan tangisannya sendiri.
Kutulis suratku sambil mengingat ciuman yang kau janjikan itu;
berlayarlah cintaku, dermaga yang beraroma garam ini adalah
sepasang bibirku,
kait talimu adalah pagutan kita.
Bacalah suratku dengan sedikit
hati-hati—
dengan sepenuh hati; apa yang tidak dapat diterjemahkan kata,
adalah yang mudah diterima makna.
Aku ingin kehilangan kau sekali lagi,
seperti perpisahan yang membuatku menulis surat ini.
Dan selamanya, lukaku adalah upaya menyembuhkan kesedihanmu.
(2) Perihal Perempuan-Perempuan Penyeduh Kopi
telah kucukupkan–kukecupkan
segala ingatan yang menebar aroma kopi ke dalam kepalaku
pahit–membikin
lelap enggan tandang ke segenap mimpi yang kusiapkan dari doa sebelum malam,
dan aku membiarkan buih mengepul di ujung kantukmu, di sana, di gelas kopi yang
mungkin telah menyesak di dapurmu. atau telah kaubersihkan dengan air mata
sebelum lelaki itu memintamu menyeduh kopi untuknya.
aku masih menggenggam gelasku, yang bibirnya telah tipis–bergantian kita kecupi. aku tidak
tahubagaimana sebuah kehilangan menyembunyikan diri di sebuah gelas kosong.
barangkali yang lesap di sebalik seruputan adalah kemesraan, hanya menyisakan
remah hitam. dan kita mengelam, disembunyikan setiap kecupan pada gelas kopi
yang pecah.
kau tinggalkan gelas yang membeling itu di dapurku. kau tidak
membersihkannya–membiarkan
pahit merasuk hidung dan lidah, begitupula dadaku. kuseduh airmata yang tawar
ke dalam gelas-gelas pecah, tanpa aroma kopi. dan kehilangan masih saja
bersembunyi di sebalik gelas kosong yang pecah. seperti kepergian yang
menyembunyikanmu.
bagiku kopi adalah sebaik-baiknya cinta yang mampu mengekalkan
ingatan kepada segala, bahkan kepedihan. aku madih tidak paham apakah tuhan mengambil
lidahku, ataukah tak ada lagi pahit dalam kopiku. sebab aku pun adalah hujan
yang masih membasah kepadamu yang kemarau, dan menitipkan waktu di doa-doa yang
gersang.
mungkin kopi di gelas lelakimu telah basi, bisa juga kian pahit.
aku takkan memintamu menyeduh kopi untukku. dalam ingatanku engkau jelma hampa,
setelah mata selalu terjaga–di
dapurku gelas pecah telah binasa. aroma kopi meruap dari tangan perempuan yang
menadah. ia mengenalkan diri sebagai penyeduh kopi yang tidak butuh gelas untuk
menampung kesedihan. seduhlah kopi untuk lelakimu, sementara aku terjaga,
mengaduk kopi di tangan perempuanku. dengan aroma kopi seperti aroma kecupanmu.
(3) Obituari Ingatan
Punggung menjauhkan kita
seperti cuaca gagal dibaca musim
mengajarkan aku cara kehilangan yang
menyakiti dengan perasaan-perasaan memiliki
seperti cuaca gagal dibaca musim
mengajarkan aku cara kehilangan yang
menyakiti dengan perasaan-perasaan memiliki
entah bagaimana kuakui kau sedangkan
mungkin bagimu aku hanyalah gagang pintu
mungkin bagimu aku hanyalah gagang pintu
yang tidak ingin kaupegang setelah tualang.
Kenangan hanya
ingatan yang jatuh cinta pada masa lalu
kini kau menjelma apapun yang tidak lagi cukup
ke dalam lengang lenganku semuanya telah dijauhkan waktu dari punggung kita.
kini kau menjelma apapun yang tidak lagi cukup
ke dalam lengang lenganku semuanya telah dijauhkan waktu dari punggung kita.
aku
mencari pada jalan yang menyimpan bekas sepatumu,
angin menyisakan wangi tubuhmu, dan foto-foto yang pernah membekukan kita, tetap tidak kudapatkan apa-apa
hingga pada akhirnya, pada sepi sendiri
kutemukan kau di kedalaman diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar