ruangotun

Since I can't sing, here I write

LightBlog

Breaking

Rabu, 07 Maret 2018

#POE : Menyeduh Ampas (Sisa) Kopi, Mengaduknya dengan Belati




Waktu beranjak, tapi kakimu tidak bergerak
Tau apa engkau tentang aneka nyalak,
Anjing-anjing jalanan yang kau kerat
di leher mereka berbekas matamu yang nyalang
Kemarin sore ketika seduhan ampas kopi kau buang


Jalan-jalan masih kau cuci, dari aneka jejak pahit yang kau tinggalkan
Bagaimana bisa kau mencuci separuhnya
Ketika bahkan tak ada air atau sabun kau simpan
Separuh ke depan, bagian jalan mana lagi yang akan kau robohkan?
Tidak tahukah kau, bahwa diantara bongkahan aspal yang kau bongkar-ketimbang kau bersihkan
Aneka jasad berteriak-teriak serak
Memintamu menunggu sisa sapaan yang tengah dikirimkan-sapaan itu masih di jalan
Tapi kau tidak menunggu sapaan itu datang, setidaknya dengan meninggalkan pesan.
Maka semoga habis jalan, agar kau menghentikan semua yang kau upayakan
Supaya waktu beranjak, tapi kakimu tidak bergerak.
 

Bagaimana akan kau selesaikan tanda tanya mereka tentang:
(satu) Anakmu yang tak kunjung pulang, tahunan di hadang badai tengah malam
(dua) Suamimu yang ditidurkan angin pulau seberang, yang diam-diam orang gunjingkan
(tiga) Ibumu yang kau teriaki setiap hari sampai habis telinganya Ia potongi sendiri
(empat) Anak tetanggamu yang Kau puja-puji seumpama nabi.
(lima) Waktumu yang tengah kau bungkus dengan serbet kotak-kotak bekas cempal
Sudah berapa tahunkah kau hidupi dirimu sendiri dengan aneka kebencian yang kau kantongi : di kantung dastermu, celana katunmu, dan tentu saja (kantung) matamu.
Berapa kali kau menginterupsiku dengan semua hinaan
Dengan terus memunguti kembali bongkahan aspal jalan sambil meneriaki ku :
Tau apa engkau tentang aneka nyalak!

Menyedihkan adalah tentang dipaksamu untuk menganggapmu korban
Padahal di tanganmu belati dan tombak berlumuran aneka amis nanah yang memerah
(Mau bagaimana lagi, kau menolak menyebutnya darah)
Harus berapa kali lagi kau menangis di depan orang-orang
Supaya dikasihaninya engkau atas segala pengorbanan : percobaan pembunuhan
Segala upaya yang Kau banggakan, akan usahamu menyayat-nyayat
Anjing-anjing jalanan yang kau kerat


Jika Kau, diantara kesibukan harianmu, bersedia membaca ini
Maka ku mohon, menoleh sebentar ke badai tengah malam yang menghadang anakmu
Pun ke pulau seberang, yang anginnya menidurkan menantu ibumu
Pun kepada potongan telinga ibumu yang tercecer : Ah, sebagiannya dibawa lari anjing hingga perempatan jalan
Pun kepada Anak tetanggamu yang kini mengencingi anakmu setiap hari
Pun kepada cempal kotak-kotak yang berlubang akibat waktu yang tajam
Juga pada aneka kebencian jasad-jasad di belakang jalan
Menengoklah sebentar, waktumu tidak akan terlalu terbuang,
(Pembunuhan harianmu bisa menunggu sebentar)
di leher mereka berbekas matamu yang nyalang


Sore ketika kutulis ini, adalah sore yang sama
Ketika kepulan asap dapurmu kembali menarikku,
Menyesap di bilik dapurmu, lalu di tiap bilik kampungmu
Ku berdoa supaya habis jalan, agar tidak ada lagi yang kau bongkar,
Lalu kupandang caramu di dapur (menjaga apimu nyala) ku menarik doaku
Kuminta kau menyelesaikan tanda tanya, dan kau meneriakiku;
Aku lebih bersyukur kau meneriakiku dan tidak menyelesaikan satupun tanda tanya
Ketika kau menipu semua orang, sedang tanganmu terus menyayat leher anjing-anjing
Ku berharap dapat membersihkan belatimu, supaya semua orang paham.
Ketika kau menoleh, menghentikan sebentar kesibukanmu, nyawa anjing-anjing itu di leher
Aku malah mencekik sampai nyawa itu melayang menyusul jasad di jalanan tempo hari
-Barang kali kau ingat
Aku membawa kepadamu ampas kopi dari serbetku,
Kemarin sore ketika sisa ampas kopi kau buang


Lalu ku pungut- ku serahkan padamu- kau menerimanya- kau seduh- kau serahkan padaku- aku diminta menunggu;
Kau mendekatiku, menyerahkan belati dan memaksaku mengaduk.
Kopimu kuaduk, kuaduk pelan-pelan sampai warnanya memerah
Tak apa kopiku masam, asal belatimu kembali tajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar