Waktu beranjak, tapi kakimu tidak bergerak
Tau apa engkau tentang aneka nyalak,
Anjing-anjing jalanan yang kau kerat
di leher mereka berbekas matamu yang nyalang
Kemarin sore ketika seduhan ampas kopi
kau buang
Jalan-jalan masih kau cuci, dari aneka
jejak pahit yang kau tinggalkan
Bagaimana bisa kau mencuci separuhnya
Ketika bahkan tak ada air atau sabun kau
simpan
Separuh ke depan, bagian jalan mana lagi
yang akan kau robohkan?
Tidak tahukah kau, bahwa diantara
bongkahan aspal yang kau bongkar-ketimbang kau bersihkan
Aneka jasad berteriak-teriak serak
Memintamu menunggu sisa sapaan yang
tengah dikirimkan-sapaan itu masih di jalan
Tapi kau tidak menunggu sapaan itu
datang, setidaknya dengan meninggalkan pesan.
Maka semoga habis jalan, agar kau
menghentikan semua yang kau upayakan
Supaya waktu beranjak, tapi kakimu tidak bergerak.
Bagaimana
akan kau selesaikan tanda tanya mereka tentang:
(satu) Anakmu
yang tak kunjung pulang, tahunan di hadang badai tengah malam
(dua) Suamimu
yang ditidurkan angin pulau seberang, yang diam-diam orang gunjingkan
(tiga) Ibumu
yang kau teriaki setiap hari sampai habis telinganya Ia potongi sendiri
(empat) Anak
tetanggamu yang Kau puja-puji seumpama nabi.
(lima)
Waktumu yang tengah kau bungkus dengan serbet kotak-kotak bekas cempal
Sudah berapa
tahunkah kau hidupi dirimu sendiri dengan aneka kebencian yang kau kantongi :
di kantung dastermu, celana katunmu, dan tentu saja (kantung) matamu.
Berapa kali
kau menginterupsiku dengan semua hinaan
Dengan terus
memunguti kembali bongkahan aspal jalan sambil meneriaki ku :
Tau apa engkau tentang aneka nyalak!
Menyedihkan
adalah tentang dipaksamu untuk menganggapmu korban
Padahal di
tanganmu belati dan tombak berlumuran aneka amis nanah yang memerah
(Mau
bagaimana lagi, kau menolak menyebutnya darah)
Harus berapa
kali lagi kau menangis di depan orang-orang
Supaya
dikasihaninya engkau atas segala pengorbanan : percobaan pembunuhan
Segala upaya
yang Kau banggakan, akan usahamu menyayat-nyayat
Anjing-anjing jalanan yang kau kerat
Jika Kau,
diantara kesibukan harianmu, bersedia membaca ini
Maka ku
mohon, menoleh sebentar ke badai tengah malam yang menghadang anakmu
Pun ke pulau
seberang, yang anginnya menidurkan menantu ibumu
Pun kepada
potongan telinga ibumu yang tercecer : Ah, sebagiannya dibawa lari anjing
hingga perempatan jalan
Pun kepada
Anak tetanggamu yang kini mengencingi anakmu setiap hari
Pun kepada
cempal kotak-kotak yang berlubang akibat waktu yang tajam
Juga pada
aneka kebencian jasad-jasad di belakang jalan
Menengoklah
sebentar, waktumu tidak akan terlalu terbuang,
(Pembunuhan
harianmu bisa menunggu sebentar)
di leher mereka berbekas matamu yang nyalang
Sore ketika kutulis ini, adalah sore
yang sama
Ketika kepulan asap dapurmu kembali
menarikku,
Menyesap di bilik dapurmu, lalu di tiap
bilik kampungmu
Ku berdoa supaya habis jalan, agar tidak
ada lagi yang kau bongkar,
Lalu kupandang caramu di dapur (menjaga
apimu nyala) ku menarik doaku
Kuminta kau menyelesaikan tanda tanya,
dan kau meneriakiku;
Aku lebih bersyukur kau meneriakiku dan
tidak menyelesaikan satupun tanda tanya
Ketika kau menipu semua orang, sedang
tanganmu terus menyayat leher anjing-anjing
Ku berharap dapat membersihkan belatimu,
supaya semua orang paham.
Ketika kau menoleh, menghentikan
sebentar kesibukanmu, nyawa anjing-anjing itu di leher
Aku malah mencekik sampai nyawa itu
melayang menyusul jasad di jalanan tempo hari
-Barang kali kau ingat
Aku membawa kepadamu ampas kopi dari
serbetku,
Kemarin sore ketika sisa ampas kopi kau
buang
Lalu ku pungut- ku serahkan padamu- kau
menerimanya- kau seduh- kau serahkan padaku- aku diminta menunggu;
Kau mendekatiku, menyerahkan belati dan memaksaku
mengaduk.
Kopimu kuaduk, kuaduk pelan-pelan sampai
warnanya memerah
Tak apa kopiku masam, asal belatimu
kembali tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar